Menjadi sasaran kritik dalam banyak kasus alih fungsi hutan, dan target bidikan setelah sejumlah anggota DPR ditahan KPK terkait kasus sejenis, Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban tetap percaya diri bersih dari bau suap. Ia membantah menerima gratifikasi dari para pemangku kepentingan alih fungsi hutan tersebut. “Tidak ada serupiah pun uang gratifikasi. Nomor HP dan rekening saya pasti sudah disadap KPK,” ujar Kaban, di gedung DPR, Jumat (16/5).
Kaban juga membantah memiliki sebuah yayasan yang khusus dipergunakan untuk menampung duit ‘panas’. “Saya hanya punya satu yayasan yaitu Yayasan Bulan Bintang Sejati. Uangnya hanya dari anggota partai,” tandasnya. Namun ia menyatakan bahwa bisa saja namanya ditaruh oleh pihak tertentu ke dalam struktur yayasan lainnya.
Kaban ditengarai menerima gratifikasi setelah kasus Al-Amin Nur Nasution mencuat. Ditangkap tangan oleh KPK bersama dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Azirwan, pada 9 April lalu, Al Amin diduga kuat terlibat dalam persekongkolan pelulusan alih fungsi hutan lindung seluas 47.300 hektare di Bintan.
Merujuk kepada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sesungguhnya alih fungsi hutan lindung bisa terjadi hanya atas izin dari Menhut. Wakil rakyat di Senayan tidak lebih dari tukang stempel setelah mempelajari hasil kajian Tim Terpadu. Dengan gambaran inilah muncul sangkaan Menhut juga kecipratan gratifikasi.
Pekan lalu mantan Direktur Eksekutif Walhi, Chalid Muhammad, telah mendesak KPK agar mengusut dugaan keterlibatan Kaban. Chalid yakin data pendukung cukup memadai. Polda Riau juga telah meminta kepada Pemerintah agar Kaban bisa diperiksa sebagai saksi.
Nah, terkait dengan sinyalemen keterlibatannya dalam proyek alih fungsi lahan, Kaban menyatakan siap bertanggung jawab dalam pemberian izin. Menurutnya, seluruh prosedur yang digariskan UU Kehutanan sudah terpenuhi. “Dari segi aturan, itu clear. Sepanjang prosesnya benar, saya belain,” tandasnya.
Meski begitu, Kaban tidak bisa menjamin ijin yang ia berikan tidak disalahgunakan. Ia mencontohkan, di lapangan ada pihak yang mengurus alih fungsi hutan seluas 600 hektare. Ternyata, setelah dicek, lahan yang dialihfungsikan lebih dari 1200 hektare. “Ini sudah termasuk perambahan liar,” ujarnya.
Kaban menambahkan, definisi gratifikasi yang dianut KPK terlalu berlebihan. Ia berharap lembaga yang dipimpin Antasari Azhar ini lebih tegas soal definisi gratifikasi. “Saya agak prihatin. Semua, mulai dari hajatan diperiksa,” keluhnya.
Sewaktu masih menjadi anggota DPR dan KPK belum terbentuk, Kaban mengaku sering mendapat pemberian dari masyarakat. Ia sama sekali tidak berpandangan pemberian itu sebagai suap. “Terlalu naif kalau itu dianggap bisa mempengaruhi keputusan,” tandasnya.
Peneliti ICW Danang Widjanarko mengatakan, setiap alih fungsi hutan lindung memerlukan ongkos yang tidak kecil. Ongkos ini ditanggung oleh pemerintah daerah. Yang menerimanya adalah orang-orang di Dephut dan DPR. Danang sependapat dengan KPK bahwa pemberian dalam bentuk apapun yang nilainya lebih dari Rp10 juta tergolong gratifikasi. “KPK perlu turun tangan,” tandasnya.
No comments:
Post a Comment